Permasalahan akibat perbedaan kewarganegaraan antara Ibu (WNI) dan Anak (WNA)
Pertama, sebagai imigran, perbedaan kewarganegaraan antara ibu (WNI) dan anak (WNA) menjadikan posisi perempuan WNI sangat rentan di mata hukum negara setempat. Ketika terjadi masalah dalam rumah tangga, ibu tidak mudah bertemu anak, malah beberapa kasus berakhir dengan hukuman penjara pada ibu, yang dituduh menculik anak warga negara setempat, yang sebetulnya adalah anak kandungnya sendiri. Dalam hal ini, kendala bahasa ibu yang WNI dan statusnya sebagai imigran membuat posisi perempuan menjadi lemah, dan negara memisahkan hubungan ibu-anak karena hukum. Perbedaan kewarganegaraan antara ibu dan anak ini sering disalahgunakan untuk menuduh ibu sebagai “Parental Shild Abductor”.
Kedua, jika terjadi kasus KDRT, bagi perempuan situasinya semakin sulit. Hal ini seperti yang dialami oleh Marcelina, karena mendapat KDRT, Marcelina melarikan diri ke Indonesia dengan membawa anak-anaknya (usia 2 tahun dan 9 bulan). Oleh pejabat KBRI diberikan Surat Perjalanan Laksana Paspor (SPLP) bagi kedua anaknya yang WNA agar bisa memasuki wilayah RI. Tetapi, karena SPLP tidak berlaku untuk ijin tinggal, maka kantor imigrasi di Indonesia menganjurkan Marcelina meminta paspor USA ke Kedutaan Amerika di Jakarta. Padahal tindakan itu tidak mungkin dilakukan oelh Marcelina, karena status Marcelina yang melarikan diri dan bisa dilaporkan sebagai penculik warga Amerika. Disini pihak Imigrasi tidak bisa membantu arcelina untuk alasan kemanusiaan. Jadi status anak menggantung, disatu sisi mereka tinggal tanpa ijin, disisi lain mereka tidak bisa mengadopsi kewarganegaraan ibunya.
Ketiga, bagi perempuan WNI yang ingin menghabiskan waktu lama di tanah air (termasuk untuk penelitian atau berkaitan dengan studi) pilihannya menjadi sangat sulit, karena anak mereka yang berstatus WNA jika hendak ikut serta (terutama balita) terbentur masalah keimigrasian yang hanya memberikan ijin dalam jangka waktu pendek.
Keempat, jika perempuan WNI menikah dengan pria yang berasal dari negara penganut ius sanguinis ketat dan tinggal di negara suaminya, maka jika terjadi perpisahan cerai/mati, perempuan tersebut kehilangan sponsor ijin tinggal. Biasanya mereka kesulitan membawa anak (balita) keluar dari negara tersebut karena keluarga besar suami mengambil alih pengurusan anak. Pilihannya adalah pulang ke RI tanpa anak, atau tetap tinggal di negara tersebut tanpa sponsor.
Sejumlah persoalan yang timbul akibat perkawinan campuran ini, maka Nuning berharap RUU Kewarganegaraan dapat menekankan bahwa Kewarganegaraan perempuan menikah tidak tergantung pada suaminya. Perempuan mempunyai hak untuk memberikan kewarganegaraan pada anaknya tanpa syarat apapun. Dalam rangka perlindungan terhadap anak dan perempuan, maka anak diberi peluang untuk mempunyai dua kewarganegaraan dan selanjutnya RUU itu diharapkan bisa menghormati kehidupan berkeluarga dengan memberlakukan aturan ijin tinggal yang mudah.
Jurnalis : Eko Bambang S
Tidak ada komentar:
Posting Komentar